Cimalaka, Korsum
Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 yang merupakan perubahan dari Undang-undang Nomor
18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, para penyedia
jasa konstruksi tidak diperbolehkan melakukan pinjam meminjamkan bendera (nama
perusahaan) serta menjual bendera dalam pelaksanaan pekerjaan/proyek.
“Undang-undang ini harus disosialisasikan secara optimal
kepada para penyedia jasa sehingga isi UU itu bisa dipahami dan diperhatikan
dengan secermat-cermatnya. Karena para penyedia jasa konstruksi harus
benar-benar bertanggungjawab atas hasil pekerjaannya," kata Kepala Dinas
Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Sujatmoko usai bimbingan teknis pekerjaan
jalan dan jembatan, Senin (23/5).
Sujatmoko menyebutkan, sosialisasi UU No. 2 Tahun 2017 itu
dilaksanaan serentak di semua kabupaten/kota se-Indonesia. Tujuannya agar para
penyedia jasa konstruksi bisa dan mampu bekerja secara profesional, terutama
penyedia jasa konstruksi yang melakukan pekeijaan-pekerjaan berat, seperti
jembatan, jalan dan bangunan/gedung besar, akan bertanggungjawab atas
pekerjaannya selama 10 tahun kedepan sejak pekerjaan itu diserahterimakan..
“Makanya para tenaga ahli yang dipekerjakan perusahaan
penyedia jasa konstruksi tersebut, harus pula memiliki sertifikasi sesuai dengan
ketentuan jasa konstruksi,” tandasnya.
Sementara itu, staf Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Sumedang,
Erwin R. Koloway menambahkan, pinjam meminjam bendera perusahaan dalam
pelaksanaan proyek itu tak perlu dilakukan. “Kecuali, para pelaku penyedia jasa
konstruksi memang mau bermain dengan api,” ujarnya usai memberikan materi.
Menurutnya, yang meminjam maupun yang memberi pinjam
bendera, akan terlibat perkara hukum jika pelaksanaan proyeknya bermasalah. “Jangan
menilai hasil pekerjaannya akan tetap optimal atau tak ada masalah selama 10
tahun kedepan. Justru, karena banyak pekerjaan yang bermasalah bahkan pinjam
bendera, akhirnya bisa diketahui aparat penegak hukum dan berujung jadi masalah
hukum,” jelasnya.
Namun begitu, beberapa bidang pekerjaan dibenarkan jika
disubkan atau melimpahkan sebagian pengerjaannya kepada pihak lain jika bidang
itu memang tak mampu dikerjakan dan harus dilakukan oleh perusahaan yang
berkompeten. "Ya, seperti pembangunan gedung, pemasangan gypsun dan rangka
baja yang memang harus dikerjakan oleh ahlinya," kata Erwin.
Disebutkan, untuk pengerjaan proyek pun bisa saja melalui
penunjukan langsung (juksung). Tapi tetap mesti dilihat dulu peraturan
pemerintahnya dan ditelaah dulu secara hukum, apakah boleh juksung atau harus
lelang. "Jika pelaksanaan proyek di luar petunjuk teknis (juknis) dan tak
sesuai dengan anggaran yang semestinya, itu melanggar," ucapnya.
Ia menegaskan, penyedia jasa konstruksi pun akan terjerat
Pasal 359 KUHP
tentang kelalaian jika hasil proyeknya diduga tak optimal dan membuat orang
lain celaka seperti jembatan patah atau roboh.
"Jika seperti itu, akan diselidiki soal dugaan
pengurangan material pembangunan jembatan itu. Dan kualitas pekerjaannya, akan
diteliti agar hasilnya bermanfaat untuk masyarakat," tegas Erwin. Semua aturan tersebut memang akan cukup memberatkan bagi
pelaku usaha jasa konstruksi, tetapi semuanya tetap harus patuh karena
merupakan bentuk tanggungjawab terhadap profesinya.**[Hendra]
0 Komentar